Kamis, 12 Januari 2012

Pilihan Sang Anak


Namanya singkat saja, Zaid, umur baru delapan tahun. Tetapi, dia sudah mengalami peristiwa yang mengguncangkan hatinya dan membuatnya sedih tiada tara. Dia masih ingat bagaimana takutnya dia malam itu, tak kala dua tangan kasar mengangkatnya dengan paksa ke atas kuda lalu dibawa pergi meninggalkan ibu yang sangat disayanginya.

Malam itu, segerombolan orang berkuda datang menyerang perkampungan Bani Ma'an, merampas harta benda penduduk, melarikan unta-unta, dan menculik anak-anak, termasuk Zaid putra Haritsah. Ia baru beberapa hari berada di perkampungan itu, dibawa oleh ibunya Su'da binti Tsa'labah mengunjungi familinya.

Para penculik membawa Zaid ke pasar Ukaz di Makkah dan menawarkannya kepada pembeli. Putra Haritsah itu dibeli oleh Hakam bin Hazam bin Khuwailid, kemenakan Khadijah binti Khuwailid. Waktu itu, Khadijah baru saja menikah dengan pemuda Muhammad bin Abdullah. Sebagai hadiah perkawinan bibinya itu, Hakam memberikan Zaid kepada Khadijah yang kemudian oleh Khadijah dihadiahkan kepada suaminya, Muhammad. Sejak itulah Zaid diasuh, disayangi, dan dididik oleh Muhammad.

Kedua orang tua Zaid sudah hampir putus asa untuk menemukan anak mereka itu. Tapi, secercah harapan muncul tatkala satu rombongan peziarah yang baru datang dari Makkah memberi kabar bahwa mereka bertemu dan bercakap-cakap dengan Zaid di Makkah. Ayah dan paman Zaid segera berangkat ke Makkah menemui Muhammad, majikan Zaid.

"Wahai putra Abdul Muthalib, Anda tetangga rumah Allah yang senantiasa membantu orang yang dalam kesulitan, memberi makan orang lapar, memberi minum orang haus. Kami datang kepada Anda hendak menjemput anak kami yang tinggal bersama Anda. Kami membawa uang secukupnya untuk tebusan. Serahkanlah anak kami, akan kami tebus berapa pun Anda kehendaki," kata ayah Zaid.

Muhammad menjawab dengan bertanya, "Tidak adakah pilihan yang lebih baik bagi tuan-tuan selain menebus. Saya akan memanggil anak itu kemari. Suruh dia memilih sendiri antara saya dan tuan-tuan. Jika dia memilih tuan-tuan, maka dia boleh tuan bawa tanpa uang tebusan. Dan, jika dia memilih saya, demi Allah! Saya bukan tak ingin dipilihnya." Jawab mereka, "Itulah seadil-adilnya."

Muhammad memanggil Zaid, lalu bertanya kepadanya. "Kenalkah engkau, siapakah kedua tuan-tuan ini?
" Kata Zaid, "Ini adalah ayahku Haritsah bin Syurahil dan ini pamanku Ka'ab." "Sekarang pilih olehmu, hai Zaid. Mana yang lebih engkau sukai, pergi bersama ayah dan pamanmu atau tetap tinggal bersama saya?" Zaid menjawab, "Aku memilih tinggal bersama Anda."

Ayah Zaid berkata, "Mengapa engkau lebih suka memilih perbudakan daripada ayah ibu kandungmu?" Zaid menjawab, "Karena aku tahu, Tuan ini lain dari yang lain. Aku tidak mau berpisah dengannya selamanya."

Anak itu telah menjatuhkan pilihannya. Pilihannya tidak salah. Kelak orang yang dipilihnya itu diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Dan, Zaid RA tercatat sebagai laki-laki pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW selain Ali bin Abi Thalib RA. Zaid menjadi saksi sejarah perjalanan dakwah Islam sejak awal kenabian, sampai kemudian beliau gugur sebagai syahid dalam Perang Mu'tah pada tahun kedelapan hijriah. Zaid mempertahankan bendera Islam sampai titik darah penghabisan.
Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas

Senin, 02 Januari 2012 pukul 08:18:00

Refleksi dan Resolusi


Menjelang pergantian tahun, banyak pihak melakukan refleksi, yakni renungan yang jujur dan mendalam mengenai diri kita sebagai umat maupun bangsa. Refleksi diperlukan untuk mengidentifikasi apa yang telah dilakukan, capaian (prestasi), dan tak kalah pentingnya adalah rapor merah, kegagalan, atau hal-hal yang meleset dari sasaran (target).

Dalam bahasa agama, refleksi itu dinamakan muhasabah, yaitu renungan yang berisi evaluasi diri dengan harapan agar kita lebih baik, bukan bertambah buruk, di masa depan. Umar bin Khattab berkata, "Buatlah perhitungan mengenai dirimu, sebelum kamu dihitung, dan timbanglah (amalmu) sebelum kamu ditimbang. (Sunan Tirmidzi dan Mushannaf ibn Abi Syaibah).

Dalam Ihya' Ulum al-Din, Imam Ghazali mengusulkan agar refleksi (evaluasi diri) dilakukan menyangkut tiga hal. Pertama, berkenaan dengan hal-hal yang diperintah atau kewajiban-kewajiban (al-mafrudhat). Kedua, berkaitan dengan hal-hal yang dilarang (al-muharramat), yaitu dosa-dosa dan maksiat. Keduanya berkaitan erat dan tak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Sebab, takwa, menurut Ghazali, terdiri atas dua sisi; sisi tindakan (al-fi`l) dan pengendalian (al-kaff). Seorang tak dapat bertindak produktif bila ia tidak mampu melepaskan diri dari hal-hal yang destruktif.

Lalu, ketiga, evaluasi terhadap umur (waktu), yaitu usia atau perjalanan hidup yang sudah dilalui. Evaluasi ini penting agar manusia menyadari modal paling berharga yang diberikan oleh Allah dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Di sini kita disuruh pandai mengatur waktu (time management), menguasai, dan mengendalikannya (time mastery) untuk ibadah dan amal saleh. (QS al-Ashr [103]: 1-3).

Refleksi penting dengan dua syarat. Pertama, dilakukan dengan jujur dan penuh tanggung jawab. Tanpa kejujuran, refleksi selain kurang berguna juga bisa menyesatkan. Kedua, ada tindak lanjut, yaitu rekomendasi, atau lebih tepatnya resolusi, yaitu keputusan besar dan berani yang harus diambil dan dilakukan untuk meraih sukses di masa depan. (QS al-Hasyr [59]: 18).

Resolusi sebagai tindak lanjut dari refleksi, merujuk pada ayat di atas, harus memuat tiga hal pokok. Pertama, kita perlu memiliki visi dan pandangan yang jauh ke depan. Berbeda dengan orang kafir, orang mukmin memiliki visi yang sangat jauh, tak hanya antargenerasi, tetapi lintas batas, transnasional, bahkan transdunia.

Kedua, sesuai visi tersebut di atas, kita perlu memiliki rencana-rencana besar dalam hidup yang dalam bahasa modern dinamakan (strategic plan). Tanpa rencana-renaca yang baik, apa yang kita alami dalam hidup hanyalah kebetulan-kebetulan belaka. Keberhasilan perlu direncanakan karena kalau tidak, kita harus siap menerima kegagalan.

Ketiga, agar tidak mengulang kegagalan di masa lalu, kita perlu mengetahui jalan keberhasilan. Dalam Islam, jalan keberhasilan itu tak lain adalah jalan takwa, bukan jalan kesesatan (fujur). Menurut Alquran, siapa menempuh jalan takwa, ia akan meraih suskes. (QS al-Syams [91]: 9). Jadi, setiap refleksi harus diikuti dengan resolusi. Tak bisa tidak. Wallahu a`lam. 
Oleh Dr A Ilyas Ismail

Jumat, 30 Desember 2011 pukul 08:25:00

Bekerjalah karena Allah

Siapa yang tak ingin hidup layak, dihargai, dan dihormati. Semua orang tentu menginginkan hidup yang demikian itu. Tetapi, untuk bisa hidup layak, tidak bisa hanya dengan santai-santai, apalagi malas. Harus ada upaya keras (perjuangan) dan doa.

Hidup layak hanya bisa dicapai dengan cara bekerja keras, memeras keringat banting tulang. Bukan dengan cara menipu, korupsi, apalagi berdusta. Kalaupun dapat hidup layak dengan cara yang tidak semestinya, sesungguhnya ia telah mendudukkan diri dalam ketidaktenangan lahir batin yang menyusahkan diri dan seluruh keluarganya.

Kondisi itu tak bisa dimungkiri sebab ketika seorang manusia berani berdusta dan hidup bergelimang harta karena kedustaannya itu, sesungguhnya ia telah mencampakkan eksistensi kemanusiaannya. Kemudian, cepat atau lambat ketidakjujurannya itu akan mengantarkannya pada kesengsaraan abadi.

Seorang Muslim haram berbuat dusta (korupsi, menipu) dalam usahanya mencari rezeki untuk keluarga. Bahkan, Islam tidak suka kepada orang yang bekerja secara tidak baik alias kerja asal jadi. Sebaliknya, Islam sangat mencintai hamba-hamba Allah yang tekun, cermat, hati-hati, serta penuh inovasi dalam bekerja atau menjalankan tugas-tugas yang diembannya.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah senang bila seorang di antara kalian melaksanakan tugas dengan cermat." (HR Baihaqi).

Artinya, setiap Muslim hendaklah memiliki sifat cermat, teliti, serta hati-hati dalam bekerja karena takwa kepada Allah. Bahkan, wajib bagi seorang Muslim yang bekerja, berupaya keras untuk senantiasa meningkatkan kualitas kerjanya.

Selain itu, Islam juga menghendaki seluruh umatnya bekerja dengan niat yang lurus dan ikhlas karena Allah. Tidak boleh bekerja dengan niatan, kalau ia tidak mengerjakannya, pekerjaan itu akan terbengkalai atau bukan semata-mata hanya karena mengukur upah. Namun, ia bekerja dengan teliti dan cermat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi amanah (mandat, otoritas) agar pekerjaan yang dilakukan benar-benar mencapai target bersama sehingga tercitptalah maslahat bersama.

Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa bekerja mencari rezeki harus menyertakan iman dan Islam. Karenanya, sangat memprihatinkan jika melihat fenomena hari ini di mana perilaku sebagian besar orang Islam tak lagi mencerminkan ajaran agamanya. Allah SWT sangat murka kepada orang yang bekerja sekehendak hatinya dan sengaja meninggalkan syariah-Nya. Apalagi dalam situasi seperti itu, dia tak pernah merasa bersalah dan berdosa. Terhadap manusia seperti ini Allah sungguh sangat murka.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia mengatakan, "Telah bersabda Rasulullah SAW, 'Sesungguhnya Allah SWT murka kepada setiap orang yang ahli dalam urusan dunia, (namun) bodoh dalam urusan akhirat).'" (HR Hakim).

Bodoh dalam urusan akhirat artinya tidak mengerti hukum syariat Allah (halal/haram hantam) dan tidak mau memahaminya dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh.Oleh karena itu, mari kita berbenah untuk menjadi Muslim yang bahagia. Yaitu, dengan cara menjadi Muslim yang bekerja karena Allah dengan berusaha membangun mentalitas kerja yang andal, cermat, teliti, dan penuh inovasi. Wallahu a'lam. 



Oleh Dr Abdul Mannan

Kamis, 05 Januari 2012 pukul 08:08:00